Dialog

Tuesday, July 06, 2021

          

  “Cuacanya sedang bagus, mari kita melaut.” Ajak seorang tua pada temannya.

“Duluan saja, aku sedang tidak enak badan.”

“Sakit?”

“Tidak juga, badanku sedang lemas. Mungkin belum makan pagi.”

“Sudahlah, aku duluan.” Berjalan menuju perahunya.

Negeri Dongeng sepi tanpa suara. Tak ada lagi keributan sepakbola. Yang ada hanya suara mesin kapal lalu-lalang silih berganti. Para orangtua juga fokus ke kebun tanpa teman. Anak lelaki mereka sudah pergi mengejar mimpi. Dilema menghantui, terjebak antara dua pilihan. Ada rasa takut untuk melepas anak kesayangan menuju rantauan. Demi masa depan, terpaksa kesedihan disembunyikan.

Hari libur tidak seramai dulu, anak-anak lebih senang menetap dalam rumah. Dahulu, lapangan bola akan ramai dipenuhi anak-anak. Jika musim hujan, mereka akan ke sungai, selalu begitu.

“Apakah kalian tidak bermain bola, inikan hari libur?” Tanya Ibu pada anaknya.

“Tidak, aku ingin bersantai saja”.

Kini tiap rumah sudah punya televisi. Dahulu jika ingin nonton, masyarakat harus ke balai tempat pertemuan, itupun hanya waktu-waktu tertentu saja. Negeri Dongeng sudah mulai modern, katanya. Tapi, tidak dengan handphone, hanya orangtua yang boleh memegang. Melihat tayangan di televisi bahwa telepon genggam sangat berdampak negatif bagi anak. Pengawalan serta pengawasan selalu dilakukan, untuk mencegah generasi penerus terjangkit virus jahat globalisasi. Bukan hanya dirumah, pihak sekolah juga melakukan hal itu. Tidak seperti dulu, kini bangunan sekolah sudah bagus. Sarana transportasi juga mudah, kapal-kapal pengantar siap tiap waktunya.

“Bu, mengapa manusia berperang?” Tanya anak dengan lugunya.

“Memangnya kenapa, apa hubungannya dengan hari libur?” Ibu menjawab sambil tertawa.

“Tidak ada, hanya saja aku kasihan melihat korbannya.”

“Kalau begitu, jangan berperang. Ciptakan kedamaian.”

Percakapan terjadi di depan televisi, berita tentang perang terus menerus diberitakan. Tak tahu yang mana yang salah, media terus saja membicarakannya. Perang merenggut jutawan nyawa, tak peduli andil ataupun tidak. Perang merusak tatanan masyarakat, meruntuhkan sisi kemanusiaan, menghilangkan kasih sayang. Ibu tak ingin anaknya tenggelam dalam tayangan kekerasan, maka dari itu ia mengajaknya untuk keluar. Psikologis seorang anak kecil sangat rentan, apabila sedari kecil diberi tontonan yang tidak baik. Mumpung sungai sedang jernih, mereka berdua akan kesana. Mencuci juga sembari besanatai di hari libur. Peralatan mandi juga pakaian kotor sudah dipikul diatas kepala. Anak hanya membawa ember tanpa isi. Sepanjang perjalanan, khayalan tentang perang masih saja menghantui pikirannya. Ia belum bisa melupakan kejadian menggenaskan yang menimpa para korban.

Sungai sudah dekat, suara riak air mulai terdengar. Mungkin anak harus melupakan sejenak tentang perang. Pakaian kotor menumpuk, Ibunya kewalahan. Diatas batu berukuran besar ia bersama Ibunya, berkutat dengan ember berisikan pakaian. Satu demi satu, sikat dan bilas. Sesekali untuk menghilangkan penat ia melompat ke air. Air sungai cukup dalam hari itu. “Tak seperti biasanya, sungai sepi.” Tukas ibu.

“Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka lebih memilih berlibur daripada mencuci seperti kita.” Jawab anak bergurau.

“Hahahah…., tenang saja, kalau urusan rumah sudah beres. Kita sekeluarga juga akan berlibur.”

Sungai tak keruh sedikitpun bak cermin. Airnya mengalir tenang menghindari batu-batu besar. Sementara itu Ibu dan anak masih sibuk mencuci pakaian. Sebenarnya sang anak tak membantu banyak, sejak awal ia hanya bermain air. Sedang Ibunyalah yang sibuk sendiri. Mungkin hiburan, itulah alasan Ibu membawanya. Sudah cukup lama, pakaian sudah bersih.

Tak ada yang tahu kapan hujan akan turun. Maka dari itu, mereka harus segera pulang. Perjalanan pulang kembali dihantui oleh bayang-bayang tentang perang. Ibu sesekali menatap anaknya yang melamun, ia sudah paham. Wajar saja pertanyaan lugunya tentang perang belum dijawab, sang anak belum tenang. Ibu membiarkan, sesekali mengalihkan isu obrolan. Tetap saja, anaknya tak tertarik. Sesampainya dirumah, anak langsung mandi dan beristirahat. Berenang dan bermain air membuatnya kelelahan. Ibu menjemur pakaian lalu melanjutkan pekerjaan lain.

Kedamaian merupakan impian semua makhluk. Bahkan seorang jahat dan keji pun menginginkannya. Tapi, pengejar kepentingan akan selalu hadir. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Jabatan tinggi merupakan modal utama. Dengan uang manusia dikontrol, dengan uang pula manusia lupa diri. Hingga akhirnya, apapun akan dilakukan bahkan membunuh sekalipun. Hari mulai sore dan anak belum juga bangun. Sedang Ibu sibuk menyiapkan makan malam. Sang anak terbangun, senyum hangat memancar dari wajahnya. Untuk kesekian kalinya, ia datang menghampiri Ibu dan berbincang. Ibu harus bersiap, pasalnya pertanyaan mengenai peperangan akan hadir kembali. Sepertinya, dalam hal ini Ayah yang akan menjelaskan.

“Sudah dari tadi pagi ia menanyaiku tentang perang.” Tukas Ibu.

“Baguslah, berarti ia mulai dewasa. Pikirannya tak hanya tentang bermain.”

“Bukan itu masalahnya, aku tak tahu harus jawab apa.” Protes Ibu, kebingungan.

“Kalau begitu, akan ku jelaskan. Kita hanya perlu memberinya pemahaman.”

Meja makan terlihat indah dengan hidangan makanan malam. Ibu dan Ayah sudah bersiap sedari tadi, menunggu  sang anak yang masih sibuk dengan tontonannya. Lagi-lagi, berita tentang perang kembali ditonton. Anak kecil ditodong senjata, remaja tertembak, darah orang tak berdosa mengalir. Umurnya belum cukup dewasa untuk melihat adegan seperti itu. Kalau tidak karena panggilan Ayah, ia tidak akan beranjak dari depan televisi.

“Ayo makan, kau pasti lapar.” Tukas Ayah. Ibu lebih memilih diam, Ayah sudah janji akan menjelaskan.

“Apakah kedamaian hanyalah mitos?” Tanya sang anak.

“Iya, memang betul. Kedamaian hanyalah mitos, hanyalah khayalan yang ada di pikiran orang jahat.”

“Berarti, mereka yang berperang adalah orang jahat?”

“Tidak semua.” Jawab Ayah singkat.

Sang anak mulai mengerti, Ayah menjalankan tugas dengan baik, ibu tersenyum. Suasana meja makan harmonis.

“Lantas, bagaimana cara mengetahui arti perdamaian, apabila belum berperang?”

“Jika perdamaian bisa diciptakan, untuk apa ada peperangan. Kita tidak harus sakit dahulu, untuk mengetahui nikmatnya sehat. Berdamailah, maka kau akan merasakan kedamaian.” Tukas Ayah.

Terdiam setelah mendengar penejelasan Ayah. Sesekali mengangguk, sepertinya ia sudah mengerti. Ayah memang hebat, Ibu mengacungkan jempolnya. Ibu beranjak dari meja.

“Sudahlah, makan dulu makananmu. Bagaimana kedamaian akan terwujud, apabila nasi saja tidak kau habiskan.” Ayah bergurau, memecah kesunyian.

“Hahahah.., apa hubungannya?” Anak tersenyum.

“Menurut Ayah, orang jahat adalah yang tidak menghabiskan makanannya”. Menjawab sambil tertawa.

Meja makan kembali ramai. Sang anak puas, pertanyaannya terjawab sudah. Tak ada lagi yang mengganjal hatinya. Harinya akan berjalan mulus. Mungkin, untuk saat ini dan seterusnya, fokusnya adalah perdamaian. Entahlah.

*Yang nulis yang di thumbnail wkwkwkwk...(narsis)

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe