Hujan dan Hidup
Thursday, August 12, 2021
Kira-kira
tinggi tebing sepuluh meter, tanpa rasa takut seorang anak meloncat. Air
terciprat mengenai rerumputan sekitar sungai, terlihat asik dan menegangkan.
Masing-masing orang mempunyai giliran. Dengan perjanjian yang tidak loncat atau
yang tidak berani akan dikatakan banci. Air sungai kembali terciprat,
tapi tetap saja beberapa menit kemudian air yang tadinya keruh berubah jernih
kembali. Jika berdiri digundukan tanah dekat sungai, air terlihat bening seperti kaca. Tak ada suara
air beriak, tandanya dalam.
Bukan hanya
dilaut, anak-anak Negeri Dongeng melatih skill renang mereka di sungai.
Berenang dilaut sangatlah berbeda dengan sungai, kandungan garam yang ada di
laut membuat tubuh menjadi ringan, sedangkan di sungai badan akan terasa sangat
berat. Negeri Dongeng tak pernah kehabisan air, masyarakat tak pernah takut.
Bukan hanya memakai. Masyarakat juga ikut melestarikan dan menjaga sungai agar
tetap bersih. Pemerintah mengeluarkan petisi yang melarang untuk mengotori
sungai, seperti membuang sampah dan limbah berbahaya. Tak ada yang melanggar,
mereka sadar bahwa sungai adalah salah satu sumber kehidupan.
Wajar saja
anak-anak tidak bermain bola. Cuaca sedang tidak bersahabat. Sejak pagi awan
selalu mendung, guntur bergemuruh, satu demi satu kilat berserabut menyinari
langit. Sesaat kemudian rintik demi rintik membasahi tanah. Para Ibu mulai
sibuk dengan jemuran masing-masing, bukan hanya pakaian, ikan kering dan kelapa
pun diangkat. Ikan kering merupakan makanan favorit Negeri Dongeng, sedangkan
kelapa adalah sumber penghasilan. Setelah benar-benar kering kelapa akan diolah
menjadi kopra. Kalangan pria pun tak mau kalah, langsung bergegas berlari ke
dermaga untuk menurunkan jangkar dan mengikat perahu agar tidak hanyut. Rintik
semakin banyak, angin semakin kencang dan menimbulkan badai di lautan. Selesai
sudah tugas orangtua. Tapi tidak dengan kalangan anak-anak. Hujan merupakan
berkah bagi mereka, setelah menunggu beberapa lama, akhirnya hujan pun turun
lagi. Meski lapangan bola tercinta hilang. Tak masalah. Mereka masih punya
sungai untuk bermain.
Di Negeri
Dongeng anak-anak mempunyai tradisi khusus dalam menyambut hujan, yaitu dengan
berlarian tanpa baju dan alas kaki. Tak semua dari mereka yang diizinkan.
Dengan sedikit alasan dan raut muka yang penuh kesedihan, orangtua pun memberi
izin. Berlari tanpa baju dan alas kaki, saling menghampiri satu persatu rumah, saling
mengajak. Orangtua hanya tersenyum, syukurlah anak-anak mereka masih bisa
tersenyum lebar. Tak pernah ada hal yang terencana sebelumnya, jadi mereka
memutuskan untuk lomba lari ke sungai. Letaknya tak jauh dari rumah. Tak perlu
pusing untuk mencari atlet lari, di Negeri Dongeng semua anak terlatih untuk
itu. Tak ada yang mau kalah dan akhirnya anak dengan
postur tubuh bulat; kira-kira beratnya 80 kilogram berteriak tanda menyerah.
Tak ada ampun, kalah tetaplah kalah, pastinya akan dikenakan sanksi. Kurang
lebih sepuluh menit beristirahat, dari jauh bola kasti melesat cepat dan
terjatuh diatas permukaan air. Tanpa pikir panjang, semua berebut bola. Untuk
memudahkan permainan, mereka terbagi menjadi dua kubu. Penuh dengan tawa dan
riang, tak ada tipu daya. Mereka tahu cara menciptakan kebahagiaan, karena pada
hakikatnya kebahagiaan ada di sekitar kita.
Hujan
mengajarkan banyak hal, salah satunya pengorbanan. Rintik demi rintik turun
menyuburkan tanah. Bunga yang tadinya layu kini mekar. Tanah yang tadinya
tandus kini subur. Hujan tak pernah meminta balasan, berbuat dan tinggalkan;
itulah hujan. Guru-guru Negeri Dongeng pun demikian, sudah banyak orang besar
hasil didikan mereka, tanpa minta belas kasih, mereka ikhlas. Tak seperti
mereka yang hanya datang duduk lalu pulang. Tak memberi tapi mengharapkan
pemberian. Hanya berharap gaji dan upeti,
jasa nihil. Jarang sekali ditemukan orang-orang berjiwa ikhlas, tak
mengharap bayar, sabar, dan tegar. Merekalah sebenar-benarnya orang yang
berjiwa besar, guru-guru di Negeri Dongeng. Mau mengajar meskipun di tempat
terpencil.
Tak lama
kemudian wanita tua dengan jilbab hitam dan rok panjang datang, berdiri
disampingnya pria berbadan besar dengan kumis tipis; itu Ibu Guru dan suaminya.
Berjalan mendekati gundukan tanah lalu tersenyum. Sambil sesekali mengangkat
rok panjangnya. Dengan berpayungkan daun pisang Ibu Guru menatap anak-anaknya,
seketika anak-anak kaget. Tanpa tunggu waktu lama, anak-anak bergegas
menghampiri dan menyalami.
Memang cuaca
di Negeri Dongeng akhir-akhir ini sedang tidak bersahabat. Anak-anak pun sudah
lama sekali tidak bersekolah. Gedung sekolah kelihatannya sedang tidak layak pakai akibat
diguyur hujan. Jika tak ada inisiatif, anak-anak tak akan mendapatkan
pelajaran. Hal itulah yang mendorong niat Ibu Guru ke sungai. Metode
pembelajaran di luar kelas pun berjalan seperti biasa. Mereka semua lekas pergi
ke gubuk, tidak jauh dari sungai. Beberapa menit kemudian Ibu Guru mengeluarkan buku
pelajajaran. Tak mau merusak suasana indah, mumpung masih hujan, ia pun
mengangkat tema hujan. Ia menjelaskan proses terjadinya hujan dari awal hingga
akhir. Anak-anak sesekali melontarkan pertanyaan, dengan tegas Ibu Guru
menjawab.
Rasa dingin
telah hilang, meskipun pelajaran berlangsung dengan badan yang awalnya
kedinginan. Pelajaran berlangsung khidmat, penjelasan Ibu Guru sepertinya
sangat baik. Terlihat dari ekspresi anak-anak. Metode pembelajaran di Negeri
Dongeng sangatlah berbeda, hujan bukan lagi alasan. Hari itu hujan telah
menjadi saksi akan ketegaran seorang guru, tentang perhatiannya kepada
murid-muridnya. Hujan semakin deras, sepertinya bumi bersedih melihat hal ini.
Tak tahu darimana Ibu Guru mengetahui keberadaan muridnya, sepertinya hal ini
sudah ia ketahui. Jika tidak bermain bola, berarti murid-muridnya sedang asik
bermain air.
*
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, hujan belum berhenti juga. Tapi, anak-anak harus segera pulang. Salam perpisahan dari Ibu Guru diikuti oleh suaminya. Daun hilang entah kemana, akhirnya mereka berdua pulang tanpa paying; sambil berlari kecil di bawah rintik hujan. Romantisme yang tak kalah dengan drama. Anak-anak pun demikian, tanpa baju dan alas kaki, kompetisi lari pun dimulai lagi. Tujuan akhir adalah rumah-rumah masing-masing. Tak kenal becek dan duri, mereka sudah kebal akan hal itu. Anak-anak melesat cepat melewati ilalang-ilalang tinggi, selang beberapa menit garis pantai sudah terlihat. Pertanda rumah sudah dekat.
Kali ini tak ada kemarahan. Para Ibu langsung saja menyuruh anak-anak mereka untuk bergegas mandi. Meja makan terlihat spesial hari itu, ikan asin dan sambal juga nasi panas menjadi hidangan; cocok dengan suasana. Di dalam ember hitam sudah siap air hangat untuk mandi. Pelajaran berharga untuk hari ini, sepertinya mereka melihat hujan berwujud manusia. Itulah guru mereka. Meja makan pun ramai dengan cerita. Canda tawa membawa suasana hangat saat itu. Sang anak bercerita kepada orangtuanya tentang kejadian tadi, pelajaran hidup yang tak akan terlupakan. Ayah dan Ibu kagum, sesekali mengangguk.
Di Negeri
Dongeng hujan turun sebagai berkah dan pelajaran. Tak seperti kota-kota besar,
selang beberapa jam hujan akan berubah menjadi bencana. Wajar saja,
selokan-selokan besar dipenuhi sampah plastik. Rumah-rumah tenggelam, tak
sedikit memakan korban. Tim evakuasi
datang silih berganti, relawan lalu lalang kesana kemari. Mayat berhamburan.
Semuanya karena hujan. Di Negeri Dongeng selokan bersih dari sampah. Membuang sampah di sembarang tempat merupakan pelanggaran berat.
Hutan-hutan masih hijau.
Bila saja
negeri lain seperti Negeri Dongeng, hujan bukan lagi bencana. Malah menjadi
berkah; darinya tanaman subur. Tapi, sayangnya tidak begitu. Hutan-hutan yang
dulunya berfungsi untuk menetralisir udara, dialihfungsikan menjadi lapangan
kekayaan. Semuanya rata dengan tanah, diatasnya tumbuh berbagai macam
kepentingan. Para pemilik modal tak ambil pusing. Kantong mereka penuh lalu
pergi, masyarakat terkena imbasnya. Mereka tak peduli dengan orang lain,
kepentingan tercapai orang lain terabai. Akankah Negeri Dongeng menjadi
panutan? Mungkin tidak untuk saat ini.
2 komentar
Flow, keren, dan menyentuh.
ReplyDeleteAdakah negeri yang akan seperti Negeri Dongeng? Tidak, ia tidak ada sejalan dengan ketamakan manusia yang takkan hilang.
ReplyDelete